Selasa, 16 September 2008

Ahimsa Sulitkah dilaksanakan ?

Oleh : Utami Pidada

Tindakan kekerasan bertubi–tubi terjadi di ruang kahidupan kita.  Tak pernah  diduga seorang pemuda bernama Ryan (seorang gay dari Jombang) melakukan pembunuhan berantai bahkan salah seorang korbannya dimutilasi. Hampir sebagian besar Pilkada melibatkan kekerasan antara pengikut para calon.  Demo mahasiswa baku hantam dengan Polisi. Tragedi 1 Juni di Monas, sekelompok orang berpenampilan  santri dari kelompok FPI tiba–tiba menyerang kumpulan orang-orang yang sedang merayakan kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni.  Orang–orang yang tidak bersenjata diserang dengan senjata tajam sehingga banyak korban jatuh. Masih ingat dua tahun yang lalu terbongkarnya kekerasan yang terjadi di IPDN, Jawa barat.  Nonton konser musik berakhir tawuran, nonton sepak bola sambil menghancurkan stadion. Belum lagi terhitung kekerasan terhadap lingkungan alam dan bumi.  Bila diteruskan daftar kekerasan bisa lebih panjang lagi.  Yang memprihatinkan adalah, kekerasan itu masih belum menunjukkan tanda–tanda pengura-ngan apalagi berhenti.
Ahimsa yang artinya tanpa kekerasan, sebenarnya adalah sikap hidup yang berakar pada nilai– nilai kemanusiaan. Ahimsa yang secara mendunia dikenal dengan “Non Violence” oleh PBB untuk pertama kalinya pada 2 Oktober 2007 ditetapkan sebagai hari tanpa kekerasan sedunia. Jadi Ahimsa bukan milik orang Hindu semata tapi milik dunia.
Ketika saya berusaha menjabarkan Ahimsa dalam bahasa sehari–hari  supaya bisa dijadikan pedoman praktis, maka demikianlah rinciannya: Berpikir tanpa kekerasan, Berprilaku tanpa kekerasan, dan Hidup tanpa kekerasan. Namun seorang teman saya menuntut agar saya memasukkan: Berkata tanpa kekerasan ke dalam penjabaran saya. Sehingga sekarang menjadi Berpikir tanpa kekerasan, Berkata tanpa kekerasan, Berprilaku tanpa ke-kerasan, Hidup tanpa kekerasan.
Bangsa Indonesia yang dikenal berbudaya tinggi, bagaimana bisa terlibat kekerasan bahkan berdarah dan hampir setiap hari terjadi? Budaya Indonesia tengah mengalami degradasi.  Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang ada, Ahimsa adalah ideal yang tertinggi. Dalam sejarah perjalanan kebudayaan Hindu, Ahimsa menempuh perjalanan evolusi dalam kurun waktu ribuan tahun.
Ribuan tahun yang lalu, di jaman Mahabharata ketidakadilan tak henti-hentinya dilakukan oleh kaum Kurawa kepada Pandawa. Berbagai usaha dan upaya perdamaian dilakukan oleh Krishna sebagai Dharma Duta.  Akhirnya Krishna sampai kepada kesimpulan bahwa perang tak terhindarkan.  Krishna menyakinkan kaum Pandawa bahwa perang itu adalah perang Dharma melawan keangkaramurkaan. Walaupun semua tahu bahwa perang adalah puncaknya kekerasan.
Dua ribu tahun setelah Masehi, keturunan bangsa Bharata harus me-ngalami situasi yang sama peliknya, yaitu membebaskan India dari penjajahan dan keangkaramurkaan Inggris. Pemimpin yang tampil adalah Gandhi. Gandhi menghimpun rakyat India untuk melawan penjajahan Inggris dengan Ahimsa, yaitu tanpa kekerasan. Di situlah Gandhi memberdayakan bangsanya dengan prinsip Satyagraha, Swasembada, Swadeshi di bidang ekonomi. Padahal kekuatan dan persenjataan Inggris jauh melebihi kekuatan India.
Ketika kemudian Inggris bisa dibuat meninggalkan India, dan India menjadi sebuah negara merdeka, ada satu hal yang terbuktikan. Dari perang Bharata sampai perang kemerdekaan melawan penjajah bersenjatakan Ahimsa, telah terjadi evolusi pikiran manusia. Evolusi itulah yang terbukti membuat Ahimsa bukan hanya sekedar idealisme, tetapi juga bisa diterapkan secara praktis.

Bagaimanakah prinsip hidup tanpa kekerasan bisa dijadikan perilaku yang membudaya dalam kehidupan sehari-hari?
Menjadi manusia berkepribadian Ahimsa tidaklah semudah membalikkan tangan. Dan sudah pasti tidak bisa dicapai seorang diri. Banyak prasyarat dan prakondisi yang diperlukan untuk bisa menuju pembentukan sikap hidup tanpa kekerasan. 
Pertama, terlebih dahulu harus ada seperangkat pedoman hidup yang memandu perjalanan menuju Ahimsa. Hampir semua agama yang ada di Indonesia mempunyai pedoman seperti dilarang membunuh, dilarang menyakiti dan pedoman moral yang sejenisnya.  Tapi ternyata pedoman dari agama tidak bisa menjinakkan semangat negatif yang me-ngarah kepada kekerasan. Namun negara punya ideologi yang disebut Pancasila.  Dua sila yang pertama yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah sumber dari sikap hidup tanpa kekerasan.  Tetapi sila-sila tersebut dan ayat-ayat agama perlu diterjemahkan ke dalam bahasa praktis yang mudah diajarkan kepada anggota masyarakat. Sosialisasi saja tidak cukup. Upaya yang lebih serius adalah usaha dan upaya internalisasi dari nilai-nilai dan pedoman hidup tersebut ke dalam jiwa masing-masing pribadi.  Setelah itu, anggota masyarakat masih harus diingatkan terus menerus bagai proses pembelajaran seumur hidup. Pedoman agama dita-ngani oleh pemimpin ummat. Sosialisasi ideologi negara, siapa yang menangani?  Pendidikan Pancasila terakhir kalinya kita dengar di jaman Orde Baru. Di jaman Reformasi, tidak pernah terdengar di mana dan oleh siapa disosialisasikannya. 
Kedua, semua orang sedunia bersaudara. Gandhi adalah seorang Hindu yang menerapkan prinsip- prinsip spiritual dalam perjuangan politik. Dia sendiri sangat disiplin terhadap dirinya dalam menjalankan ajaran Hindu. Tapa, brata, samadhi dijalankan dengan ketat. Gandhi menyadari bahwa pelaksanaan Ahimsa tak akan tercapai tanpa landasan Vasudeva Kutumbakam (All men are brothers), semua orang di dunia bersaudara. Makna dari prinsip ini adalah bahwa tak seorangpun bisa mencederai orang lain dengan kekerasan atas dasar sikap ekseklusif.  Dengan landasan pikiran bahwa semua orang di dunia bersaudara, maka sikap ekseklusif tidak benar.  Tidak ada alasan untuk meremehkan dan merendahkan orang lain, perempuan dan anak anak, juga orang lain yang tidak sekubu, apalagi dengan alasan kafir.
Ketiga, Hukum Karma. Hukum karma biasa disebut hukum sebab akibat. Banyak perumpamaan yang dipakai untuk menjelaskan hukum karma seperti, “apa yang ditanam itulah yang dipanen.” Contoh lain, bila anda menyalakan api, andalah yang harus mengendalikannya. Bila tidak, anda sendiri akan terbakar olehnya.  Pada dasarnya tak seorangpun bisa mengelak dari hukum karma. Hukum itu mengandung kepastian, karena dia adalah hukum semesta yang melibatkan energi.  Misalnya, anda melempar segenggam energi, baik dia bermuatan negatif atau positif, pada gilirannya energi tersebut balik kembali kepada anda sesuai dengan kualitas yang dikirim, positif atau negatif. Tuhan pun tidak ikut campur, sehingga tidak bisa diajak negoisasi maupun naik banding. Menyadari akan sifat dan kekuatan hukum karma, maka sebaiknya manusia sebanyak- banyaknya mengirim energi positif dan energi kasih dari pada muatan negatif apalagi kekerasan.
Keempat, Cinta Kasih. Inilah prasyarat penting untuk bisa menjadi kepribadian tanpa kekerasan. Hanya orang yang dirinya penuh oleh cinta dan kasih, otomatis berperilaku tanpa kekerasan. Orang yang penuh cinta otomatis mencintai hidup dan kehidupan, cinta pada sesama, mencintai alam semesta dengan segenap isinya. Orang yang penuh kasih otomatis akan saling memelihara dan senantiasa berpikir damai, tidak akan tega melakukan kekerasan. Adapun cinta yang dimaksud di sini bukan wacana tentang cinta, tetapi yang sudah mengalami transformasi menjadi kasih. Cinta yang bersumber di dalam diri sendiri. Oleh karenanya harus digali sendiri melalui perjalanan ke dalam diri.  Tentang hal ini diperlukan upaya pembelajaran dan latihan di depan seorang guru spiritual.
Demikianlah beberapa prasyarat yang seyogyanya disadari dan diyakini sebelum mencapai sikap Ahimsa. Secara bersama-sama masyarakat dapat melakukan upaya bersama misalnya mengarahkan pola pengasuhan anak (parenting) berorientasi pada cinta damai. Orang tua yang putra putrinya masih belajar pada pendidikan dasar bisa menambah perbekalan mental untuk putranya dengan pendidikan budi pekerti.
Sikap hidup tanpa kekerasan adalah hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran dan transformasi jati diri.  Yang dimaksud dengan transformasi di sini yaitu dari Danawa ke Manawa, dari Manawa ke Madhawa.  Kekerasan la-zimnya terjadi pada tataran Dhanawa.

Penulis tinggal di Bintaro, Tangerang 


  



Tidak ada komentar: